Sabtu, Oktober 02, 2010

Jodoh, Mati dan Rejeki

Hello mommies.. kali ini saya mau share cerita pengalaman pribadi saya mengenai Rezeki. Jodoh dan Mati-nya hanya untuk "teman judul" Rezeki saja, maksudnya karena sama-sama sudah ditentukan Allah SWT:)

Saya dulunya adalah working mom, dengan jam kerja yang ringan, hanya dari 8.30 - 3.30, 5 hari kerja dalam seminggu. Dalam setahun bisa mendapat max 15.5x gaji. Kami tidak punya pembantu, karena memang tidak pernah berjodoh dengan pembantu tetap, hanya pembantu part time yang datang 1-3x seminggu tergantung kebutuhan.

Anak saya lahir di Doha-Qatar, dan setelah berjuang mencari pembantu yang akhirnya tidak berhasil (tidak cocok terus) maka akhirnya saya lari ke Penitipan Anak (nursery) untuk menjaga dia selama saya kerja. Alhamdulillah nursery-nya walaupun international tetapi nanny-nya masih mengasuh dengan cara-cara Asia, karena juga nanny-nya berasal dari Filippin. Anak saya dirawat dengan kasih sayang, bahkan kalo sedang tidak enak badan nanny-nanny tersebut rela hati menggendongnya, yang bahkan ayah bundanya sendiri jarang melakukannya. Semua diaper, baju ganti, makanan dan susu saya siapkan tiap hari dari rumah untuk keperluan Latifah seharian di nursery.

Tetapi karena sejak umur 4 bulan terpapar dengan lingkungan luar, maka anak saya sering sekali sakit. Mulai dari batuk pilek biasa, infeksi telinga sampai diare parah yang disebabkan Virus Rota sampai diopname. Airmata ini sering kali tumpah saat melihat anak saya lemas, diam, sampai muntahnya berwarna hijau. Tapi tugas harus tetap dijalankan, saya harus tetap masuk ke kantor dan anak saya dititipkan ke nursery.

Nurserynya sendiri juga mempunyai nurse yang akan memberikan obat seperti yang telah kami instruksikan jadi ya memang hati saya agak tenang. Menelpon nursery untuk mengetahui perkembangan kesehatan anak tak lupa terus saya lakukan. Dan jika ada kejadian khusus, misalnya anak saya tiba-tiba demam di atas 37.8 pun saya ditelpon untuk memberi tahu atau sekedar meminta ijin untuk memberikan obat penurun panas.

Kami merasa nyaman dengan keadaan seperti ini, karena memang tidak ada pilihan lain. Merekrut pembantu juga bukan pilihan karena selain biaya perekrutan mahal, sekitar Rp 25 jt, kita juga harus "cocok" dengan pembantu yang kita pilih dengan hanya melihat foto di database di agen pembantu. Selama 2 tahun kita harus hidup dengan pembantu tersebut, cocok ataupun tidak cocok. Kecuali kalo pembantu tersebut melakukan perbuatan melanggar hukum maka tidak diperkenankan untuk menukar. So, there's no such thing as alasan "ketidakcocokan". Pengalaman masa lalu yang sudah mencoba berbagai macam pembantu adalah dengan pembantu yang sudah mempunyai visa tinggal di Qatar dengan sponsor orang lain, sehingga saya tidak terbebani biaya agensi.

Sebenarnya kalo dihitung secara umum meskipun biaya pembantu bulanan dibandingkan biaya bulanan yang kita keluarkan tiap bulan, masih lebih murah bila kita mempunyai pembantu. Tapi karena kita mempunyai masa lalu yang kelam dengan pembantu yang menyisakan trauma (haduh, bahasanya..) dan hilangnya "privacy", maka kita memilih untuk tetap bertahan dengan nursery + part time maid.

Ketika isu flu babi merajalela, semua sekolah dan nursery di Qatar menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah penyebarannya. Antara lain melarang anak yang sakit untuk sekolah, terutama batuk pilek dengan demam tinggi, sampai ada surat ijin dokter yang menyatakan fit. Bahkan bila ada 2 bersaudara yang sekolah di tempat yang sama, dan salah satunya sakit, maka saudaranya juga tidak boleh sekolah.

Di sinilah mulai timbulnya masalah bagi kami. Karena Latifah memang sering sakit dan kadang disertai demam tinggi maka mau tak mau saya harus cuti untuk menemani dia di rumah. Saya bukan ibu yang egois. Saya memang ingin bersama dengan anak saya kalo dia sedang sakit, tapi saya juga seorang pegawai yang tidak bisa seenaknya cuti.

Sebenarnya atasan saya memberikan kelonggaran untuk saya cuti kapanpun bila anak sakit, karena memang jatah cuti saya dalam setahun ada 31 hari kerja (lebih kurang 1.5 bulan), plus cuti bersama dari pemerintah (dalam setahun ada 2x cuti Idul Fitri, Idul Adha yang lamanya masing-masing mencapai 10 hari kalender). Tetapi kalo misalnya di kantor ada hal yang urgent, maka saya juga tidak bisa cuti seenaknya.

Saat paling menyedihkan bagi saya adalah ketika saya harus tetap ke kantor, sementara Latifah sakit dan ditolak di nursery walaupun batuk pilek sudah agak reda dan tidak demam lagi. Surat dokter memang menyatakan dia harus istirahat 3 hari dan itu adalah hari ke-3. Akhirnya atasan saya menyuruh membawa Latifah ke kantor. Sementara saya mengerjakan tugas, Latifah tidur di musholla ditemani satpam kantor. Ketika dia bangun dan bosan di kantor akhirnya dia memilih untuk menunggu di mobil sambil menonton kartun kesukaannya, dengan AC menyala dan tetap ditemani satpam kantor.

Menangis hati saya waktu itu, sedih sekali rasanya melihat anak saya seperti itu. Teman-teman di facebook ada yang menghujat saya, ada pula yang ikut sedih dan menyemangati saya. Setelah pekerjaan saya selesei saya bisa langsung pulang, dan atasan saya pun turut mengantarkan ke mobil dan dia bilang sendiri ke anak saya, meminta maaf karena meminta saya untuk bekerja di waktu dia sakit karena ada masalah penting. She was just 2 years old at that time:((.

Setelah itu saya semakin berpikir keras untuk berhenti kerja, selain memang ada alasan lain. Suami dari dulu selalu mendukung saya untuk di rumah, walaupun tidak pernah melarang saya untuk kerja dan bangga juga istrinya kerja. Suami bilang, lebih baik bunda di rumah aja, kalo Latifah sakit dia ada yang menjaga.. aku jadi tenang juga di kantor.

Akhirnya setelah melalui diskusi panjang, terutama tentang masalah keuangan saya memutuskan untuk berhenti kerja. Saya berpikir, tidak mengapa tidak bisa menabung banyak, nanti setelah anak-anak sudah mandiri saya bisa kerja lagi. Tidak mengapa tidak bisa tamasya asalkan setiap tahun bisa mudik ke Indonesia (karena memang ada jatah uang tiket setahun sekali dari perusahaan suami).

Karena kantor saya adalah kantor dengan jumlah personel sedikit, maka rasa kekeluargaan itupun sangat erat. Hanya ada 1 teman saya orang Filipin yang mendukung saya resign, karena dia juga merasakan susahnya membesarkan anak, terutama ketika anak sakit. Sementara semua teman lainnya menyayangkan keputusan saya dan mendorong saya untuk mencari pembantu saja. Well, I really think finding a maid is like mencari jodoh.. Some people memang tidak ditakdirkan untuk berjodoh dengan pembantu.

Atasan saya pun memohon saya tinggal lebih lama sampai dia menemukan pengganti saya. Walaupun sebenarnya dia hanya berhak menahan saya sesuai dengan kontrak, 1 month notice, tapi atasan saya meminta saya pergi setidaknya seminggu setelah saya selesei melatih pengganti saya.

Dan mulailah saya memasang iklan dimana-mana untuk mencari pengganti, dan secara mengejutkan kami menerima sekitar 700 lebih pelamar. Mulai dari bangsa Asia Tenggara, India, Arab, bahkan bule dari Eropa dan Amerika turut melamar. Ada yang bergelar Phd, Engineer dan Chartered Accountant. Hello? Ini hanya posisi Admin Assistance di sebuah Embassy negara kecil (yang memang maju sih). Ternyata Qatar adalah Land of Hope baru.

Terus terang saya minder melihat para pelamar dan semua teman kantor juga kaget melihat banyaknya pelamar karena mereka juga punya titipan dari teman/keluarganya yang kemudian hanya saya tumpuk di meja. Saya "hanya" lulusan S1 Akuntansi Unair (dengan tidak mengurangi hormat pada almamater saya) sementara mereka dari berbagai Universitas di seluruh dunia dengan berbagai jenjang pendidikan. Saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah misalnya di masa depan sewaktu saya "ingin" mencari kerja lagi akan bisa mendapatkan dengan mudah? Wallahu A'lam. Teman-teman kantor saya yang putus asa melihat tumpukan pelamar di meja berkata, "why don't you just stay? you're so lucky working here, look at those people struggling for better job".

The show must go on, dan akhirnya kami menemukan calon yang tepat. Dan lucunya, saya disuruh atasan untuk ikut mewawancara, serta memperkenalkan saya dan terus-terusan mengatakan pada 12 orang peserta wawancara kalo saya ini aset berharga di perusahaan, dia pergi karena anaknya, dan kami ingin orang yang menggantikan dia agar selalu kerasan dan lama kerja di sini dan bla..bla..bla.. . Fyi, saya kerja di kantor ini sudah 3 tahun, suatu rekor karena masa lalu saya yang kutu loncat tidak bisa bertahan lebih dari 1 tahun di kantor lama dengan berbagai alasan. Saya sediiiih sekali sewaktu mewawancara mereka dan memang berat bagi saya untuk meninggalkan kantor.

Dalam proses 1 month notice itu teman-teman saya semua juga menyayangkan kenapa saya berhenti kerja? (termasuk my dentist!) Sayang gajinya, kerjanya kan ga berat buktinya sering fesbukan (yeuuuuk!), dan Latifah kan bisa dicarikan pembantu dan bla..bla.. bla... Dan salah satu teman itu kebetulan juga tiba-tiba mengajak saya untuk join membuka restoran Indonesia di Qatar. Oh my God.. memang benar kalo rejeki itu tidak akan lari kemana.

Kini sudah 5 bulan saya berhenti kerja, dan keadaan Restoran kami memang juga belum begitu stabil.. kadang keuntungan banyak (walaupun bagi hasil tidak mencapai separo gaji saya dulu) dan kadang pula keuntungan sedikit sekali (yang hanya bisa buat bayar tagihan telpon). Tapi saya bahagia. Saya hanya bertugas mengerjakan laporan keuangan saja, selain sebagai pemegang saham minoritas.

Dan herannya walaupun saya tidak kerja, penghasilan restoran juga tidak bisa diandalkan (belum balik modal juga), masih jarang masak, sering jajan di luar, masih pake part time maid, dan masi nyeterikain di laundry, kurs dolar yang terus melemah (maaf, sebagai expat memang kami agak "sedih" kalo rupiah menguat) tetapi kami tetap bisa menabung. Subhanallah. Berkali-kali kami hitung secara matematika jadi bingung sendiri. How come? maaf sekali lagi, saya tidak bermaksud sombong/riya. Yang saya ingat, meskipun dulu saya berhasil menyimpan sekitar 80-90% gaji saya, tapi seringkali ada "kejadian yang tak mengenakkan" yang membuat saya merelakan sebagian atau seluruh tabungan saya. So, in the end sama saja.

Mungkin juga sewaktu bekerja saya "terlalu berlebihan" dalam berbelanja dengan alasan aktualisasi diri. Atau pura-pura jualan tas branded dari US, yang hasilnya juga buat beli tas buat diri sendiri. Sekarang saya melihat tumpukan tas (hahaha.. ga sebanyak mommies yang aktif di fashionesedaily sih) jadi bingung sendiri buat apa juga? Mau saya jual kok banyak yang bernoda susu.. hehehe.. ketahuan joroknya.

Dan alhamdulillah setelah resign dan nyantai di rumah saya bisa hamil lagi. Dan akhirnya gara-gara ga kerja, hamil dan tubuh membesar semua baju kantor saya sumbangkan ke orang-orang terdekat. Mau disumbangkan langsung ke Qatar Charity sayang karena bajunya masi bagus. Ya baju kantor saya branded semua, rata-rata dari Mango, Next dan Zara yang saya beli waktu sale. Fyi, walau branded tapi harganya jarang yang di atas Rp 200ribu. Rata-rata Rp 125ribu saja karena waktu sale memang gila-gilaan turunnya, sampe 70% bahkan 90%. (Ada yang mau nitip? Gucci bag di sini kadang Rp 2juta dapet loh, dijamin original semua, hehehe...)

Dan yang terpenting, selama 5 bulan ini Latifah hanya sekali ke dokter, itupun karena kita mau mudik ke Indonesia dan hanya untuk cek up. Kesehatan anak inilah yang paling membuat kami bahagia. Usai sudah masa-masa harus ke dokter sebulan 2x, harus menempuh 40km pp untuk ke dokter langganan.. second opinion, third opinion, kesusahan ngasi obat yang akhirnya Latifah kami biarkan saja tidak minum obat. Kadang sama dokter ga dikasi obat karena "alergi" atau malah harus minum obat secara terus menerus selama sebulan, ternyata malah cocok dengan Laserin Anak (bukan iklan). Kami berpikir betapa sedihnya orang tua yang anaknya sakit, dan harus bayar biaya dokter dan obat. Karena kami yang ditanggung asuransi kesehatan 100% saja sedihnya bukan main.

Dan tentunya selama 5 bulan ini Latifah saya "kurung" di rumah, sesuai saran big boss saya ketika farewell party di kantor (yang juga berubah menjadi promosi restoran saya karena atasan saya pesan tumpeng). Latifah pun tidak mau "sekolah" lagi, sampai pihak nursery-nya yang menelpon, ini file-nya mau ditutup atau bagaimana. Sayang sebenarnya saya sudah bayar "retainer fee", tapi kalo ingat sakitnya dia di masa lalu membuat saya keder juga untuk mengembalikan dia ke sekolah.

So the point is, bagi ibu-ibu yang merasa berada dalam kebimbangan seperti saya dulu, jangan ragu untuk memutuskan jadi full time mom. Insya Allah rejeki sudah ada yang ngatur.. selain kita mendapatkan pahala juga mendapat ketenangan batin. We must believe that.

9 komentar:

Shanti Fahlevi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
UmmuAbdurrahman mengatakan...

iya buk....betchuuull...daku juga ngerasain exactly sama ama apa yg dikau rasakan pas mao mutusin resign kerja..palagi tempat kerja terakhir yg paling lama gitu ya buk...suasananya udah cucok, koleganya juga pas,...uhuhuhu....tapi ternyata staying at home being a full time mommy ngurusin sendiri anak2 lebih menyenangkan yoo, bathin pun lebih tenang,...jadi tos dulu lah kita buk...hehehhe

Arman mengatakan...

yah emang semua udah ada jalannya ya... :)
semua pilihan emang pasti ada plus minus. tinggal ditimbang2 mana yang paling cocok untuk keluarga... :)

bener tuh qatar emang udah jadi land of hope deh. soalnya denger2 gajinya gede2 ya disana... jadi pengen juga.. hehehe

Shanti Fahlevi mengatakan...

Ummik: yeuuuk..

Arman: iya, alasan lain karena sudah bosen kerja juga, hehehe..

Qatar yang bikin menarik karena di sini free-tax, tapi kesehatan dicover hampir 100%. Kalo ke RS pemerintah paling cuma bayar biaya admin doang, sekitar QR 5-20 (USD 1 = QR 3.65)

Ima Nurhikmah mengatakan...

iya ya...sawang sinawang memang ya. saya dulu pernah kepikiran, kenapa suami2 kita cenderung seneng kita di rumah aja alias jadi FTM tapi kadang dia mengagumi orang lain/perempuan yang bekerja....atau bangga dengan istri bekerja, suka aneh. Yang penting bersyukur atas apa Allah beri dan memaksimalkan apa yang kita bisa untuk bisa lebih baik ya mbak...semangat jadi FTM

Ndutyke mengatakan...

Subhanalloh mbak.... Cerita yg sangat bagus banget dan PAS sekali untuk menggambarkan judulnya! Bener emang mbak, semua itu ada yg ngatur :)

Dan ttg dihujat teman di FB, well mungkin itu salah satu alasan mengapa aku malas aktif di FB. Nyebelin sih orang2 yg disana. *loh kok malah curcol disini toh aku? Hehehe*

Oalah mbak alumni Unair toh. SMAnya dmana, mbak? Aku pisan yo arek Suroboyo, tp mbiyen kuliah nang Petra.

Shanti Fahlevi mengatakan...

Bu Guru Tika..hai..hai..:)) Aku wong nJombang.. hehehe.. kul di FE-Ak angkatan 99..

Kalo hidup di Indonesia mungkin lebih mudah mencari maid yang reliable ya.. mungkin sudah jalanku seperti ini.. it's okay.. dan sekarang bener-bener enjoy kok, alhamdulillah..

Kazhumi mengatakan...

Mba Shanty, saya benar2 terharu membaca artikel ini. karna ketika membaca ini, awalnya saya sedang googling ' biaya Hidup di Istanbul' tapi point sebenarnya yang saya cari adalah, kebimbangan antara Working Mom dan Full time Mom, alhamdulillah setelah membaca artikel ini saya menjadi sangat lega, inspirative sekali. thanks untuk sharing nya Mba Shanty. saya jadi lebih mantap untuk membekali diri menjadi Full Mom :)
Wassalam, Umi Zahran

Shanti Fahlevi mengatakan...

Umi Zahran, saya sekarang dalam posisi pengen kerja lagi.. Tapi mana mungkin karena ada baby dan tetep ga punya maid.. Saran saya, bikin tabungan pribadi dulu sebelum resign, karena it won't be the same.. Meski udah dikasi uang suami, tetep lebih nikmat pegang uang sendiri.. ;))